Skip to main content

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 1998 TENTANG PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 1998 TENTANG PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai salah satu upaya dalam pembangunan kesehatan dilakukan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak tepat serta yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan; b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Mengingat: 1.Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. 2.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274). 3.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3465). MEMUTUSKAN : MENETAPKAN : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. 2. Alat kesehatan adalah bahan, instrumen, aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosa, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. 3. Produksi adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membentuk, mengemas, dan/atau mengubah bentuk sediaan farmasi dan alat kesehatan. 4. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, atau pemindahtanganan. 5. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan sediaan farmasi dan alat kesehatan dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara atau moda atau sarana angkutan apapun dalam rangka produksi, peredaran, dan/atau perdagangan sediaan farmasi dan alat kesehatan. 6. Kemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus sediaan farmasi dan alat kesehatan baik yang bersentuhan langsung maupun tidak. 7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan. BAB II PERSYARATAN MUTU, KEAMANAN DAN KEMANFAATAN Pasal 2 (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan (2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk : a. Sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan persyaratan dalam buku farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri. b. Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sesuai dengan persyaratan dalam buku Materia Medika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri. c. Sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan peryaratan dalam buku Kodeks Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri. d. Alat kesehatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri. BAGIAN III P R O D U K S I Pasal 3 Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh badan usaha yang teleh memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 4 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak berlaku bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional oleh perorangan diatur oleh Menteri. Pasal 5 (1) Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi yang baik. (2) Cara produksi yang baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. BAB IV PEREDARAN Bagian Pertama Umum Pasal 6 Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan penyerahan. Pasal 7 Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 8 (1) Setiap pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran harus disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan. (2) Setiap pengangkut sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Bagian Kedua Izin Edar Pasal 9 (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperolah izin edar dari Menteri. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan. Pasal 10 (1) Izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan diberikan atas dasar permohonan secara tertulis kepada Menteri. (2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan keterangan dan/atau data mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar serta contoh sediaan farmasi dan alat kesehatan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin edar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) oleh Menteri. Pasal 11 Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperolah izin edar dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan. Bagian Ketiga Pengujian Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Pasal 12 (1) Pengujian sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan melalui : a. Pengujian laboratoris berkenaan dengan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan. b. Penilaian atas keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan. (2) Tata cara pengujian sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 13 (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang lulus dalam pengujian diberikan izin edar (2) Izin edar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam bentuk persetujuan pendaftaran. (3) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak lulus dalam pengujian diberikan surat keterangan yang menyatakan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan untuk diedarkan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin edar dan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) , ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh Menteri. Pasal 14 (1) Menteri menjaga kerahasiaan keterangan dan/atau data sediaan farmasi dan alat kesehatan yang disampaikan serta hasil pengujian sediaan farmasi dan alat kesehatan. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. Bagian Keempat Penyaluran Pasal 16 (1) Penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh : a. Badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan sediaan farmasi yang berupa bahan obat, obat dan alat kesehatan. b. Badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecualikan bagi perorangan untuk menyalurkan sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika dengan jumlah komoditi yang terbatas dan/atau diperdagangkan secara langsung kepada masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri. Bagian Kelima Penyerahan Pasal 16 (1) Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilakukan untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan. (2) Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan dilakukan berdasarkan : a. resep dokter b. tanpa resep dokter (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri. BAB IV PEMASUKAN DAN PENGELUARAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN KE DALAM DAN DARI WILAYAH INDONESIA Pasal 17 Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimasukkan ke dalam dan dikeluarkan dari wilayah Indonesia untuk diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Pasal 18 (1) Pemasukan dan pengeluaran sediaan farmasi dan alat kesehatan kedalam dan dari wilayah Indonesia hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang telah memiliki izin sebagai importir dan/atau eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. (2) Selain izin sebagai importir dan/atau eksportir, badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memiliki izin Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku untuk memasukkan dan mengeluarkan sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat ke dalam dan dari wilayah Indonesia. Pasal 19 (1) Selain yang ditentukan dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan dapat memasukkan sediaan farmasi dan alat kesehatan ke dalam wilayah Indonesia untuk kepentingan ilmu pengetahuan. (2) Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 20 (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimasukkan dan dikeluarkan ke dalam dan dari wilayah Indonesia untuk diedarkan harus dilengkapi dengan dokumen yang menyatakan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bersangkutan telah lulus dalam pengujian dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan dari instansi yang berwenang di negara asal atau Menteri. (2) Kelengkapan dokumen hasil pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi tanggung jawab importir dan/atau eksportir sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 21 Setiap pengangkutan dalam rangka pemasukan dan pengeluaran sediaan farmasi dan alat kesehatan ke dalam dan dari wilayah Indonesia dilaksanakan dengan memperhatikan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 22 (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan harus memiliki izin edar dari Menteri. (2) Tata cara memperoleh izin edar bagi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 23 (1) Terhadap sediaan farmasi yang berupa obat yang sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan serta belum diproduksi di Indonesia, dapat dilakukan pemasukan ke dalam wilayah Indonesia selain oleh importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (2) Pemasukan sediaan farmasi yang berupa obat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk : a. Keadaan darurat. b. Atas pertimbangan dari tenaga kesehatan yang berwenang dalam pemberian pelayanan kesehatan. c. Jumlahnya terbatas sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pemberian pelayanan kesehatan. (3) Pemasukan sediaan farmasi yang berupa obat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri. BAB IV KEMASAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN Pasal 24 (1) Pengemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan menggunakan bahan kemasan yang tidak membahayakan kesehatan manusia dan/atau dapat mempengaruhi berubahnya persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri. Pasal 25 (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang mengalami kerusakan kemasan yang langsung bersentuhan dengan produk sediaan farmasi dan alat kesehatan, dilarang untuk diedarkan. (2) Sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimusnahkan sesuai dengan ketentuan mengenai pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan. BAB VII PENANDAAN DAN IKLAN Bagian Pertama Penandaan dan Informasi Pasal 26 (1) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan untuk melindungi masyarakat dari informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak obyektif, tidak lengkap serta menyesatkan. (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan dapat berbentuk gambar, warna, tulisan atau kombinasi antara atau ketiganya atau bentuk lainnya yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya. Pasal 27 Badan usaha yang mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan harus mencantumkan penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 28 (1) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang harus dicantumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus memenuhi persyaratan berbentuk tulisan yang berisi keterangan mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan secara obyektif, lengkap serta tidak menyesatkan. (2) Keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya berisi : a. Nama produk dan/atau merek dagang b. Nama badan usaha yang memproduksi atau memasukkan sediaan farmasi dan alat kesehatan ke dalam wilayah Indonesia. c. Komponen pokok sediaan farmasi dan alat kesehatan d. Tata cara penggunaan. e. Tanda peringatan atau efek samping f. Batas waktu kadaluwarsa untuk sediaan farmasi tertentu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penandaan dan informasi yang harus dicantumkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri. Pasal 29 Keterangan tambahan yang dicantumkan selain yang ditentukan dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, hanya dapat dilakukan apabila keterangan tambahan yang dicantumkan sesuai dengan keterangan yang ada dalam izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 30 (1) Ketentuan mengenai penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan. (2) Menteri melakukan pembinaan berkenaan dengan penandaan dan informasi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan. Bagian Kedua Iklan Pasal 31 Iklan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan harus memuat keterangan mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan secara obyektif, lengkap dan tidak menyesatkan. Pasal 32 Sediaan farmasi yang berupa obat untuk pelayanan kesehatan yang penyerahannya dilakukan berdasarkan resep dokter hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Pasal 33 Iklan mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan pada media apapun yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan dilaksanakan dengan memperhatikan etika periklanan. BAB VII PEMELIHARAAN MUTU Pasal 34 (1) Dalam rangka menjamin sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan diselenggarakan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan. (2) Penyelenggaraan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sejak kegiatan produksi sampai dengan peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 35 (1) Dalam rangka pelaksanaan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan, Menteri melakukan : a. Penetapan persyaratan pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan b. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri. BAB IX PENGUJIAN DAN PENARIKAN KEMBALI SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN DARI PEREDARAN Bagian Pertama Pengujian Kembali Pasal 36 Untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan, dilakukan pengujian kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan. Pasal 37 Pengujian kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan dilaksanakan oleh Menteri. Pasal 38 Pengujian kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan dilaksanakan : a. Secara berkala, atau b. Karena adanya data atau informasi baru berkenaan dengan efek samping sediaan farmasi dan alat kesehatan bagi masyarakat. Pasal 39 (1) Apabila hasil pengujian kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan menunjukkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan atau dapat menimbulkan bahaya kesehatan bagi manusia, sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bersangkutan dicabut izin edarnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan izin edar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri. Pasal 40 (1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dicabut izin edarnya karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dilarang untuk diproduksi atau dimasukkan kedalam wilayah Indonesia untuk diedarkan. (2) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dicabut izin edarnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditarik dari peredaran untuk dimusnahkan. Bagian Kedua Penarikan Kembali Pasal 41 (1) Penarikan kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran karena dicabut izin edarnya dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab badan usaha yang memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dan peredaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri. Pasal 42 (1) Menteri menyebarluaskan informasi kepada masyarakat berkenaan dengan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang sedang dalam penarikankembali dari peredaran. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyebarluasan informasi kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dala ayat (1) diatur oleh Menteri. Bagian Kedua Penarikan Kembali Pasal 43 (1) Setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila sediaan farmasi dan alat kesehatanyang digunakan mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. (1) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB X PEMUSNAHAN Pasal 44 Pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan terhadap sediaan farmasi dan alat kesehatan yang : a. Diproduksi tanpa memenuhi persyaratan yang berlaku b. Telah kadaluwarsa c. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan. d. Dicabut izin edarnya e. Berhubungan dengan tindak pidanya dibidang sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 45 (1) Pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan oleh badan usaha yang memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan, dan/atau orang yang bertanggung jawab atas sarana kesehatan dan/atau pemerintah. (2) Pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang berhubungan dengan tindak pidana dibidang sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 46 Pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan dampak terhadap kesehatan manusis serta upaya pelestarian lingkungan hidup. Pasal 47 (1) Pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilaporkan kepada Menteri (2) Laporan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan : a. Waktu dan tempat pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan. b. Jumlah dan jenis sediaanfrarmasi dan alat kesehatan c. Nama penanggung jawab pelaksana pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan. d. Nama satu orang saksi dalam pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan. (3) Laporan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditanda tangani oleh penanggung jawab dan saksi dalam pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 48 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemusnahan dan pelaporan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 diatur oleh Menteri. BAB XI PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 49 Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta yang seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan masyarakat dan bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak tepat dan/atau tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Pasal 50 Peran serta masyarakat diarahkan untuk meningkatkan dan mendayagunakan kemapuan yang ada pada masyarakat dalam rangka pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 51 Peran serta masyarakat dilaksanakan melalui : a. Penyelenggaraan produksi dan peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. b. Penyelenggaraan, pemberian bantuan, dan/atau kerjasama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan. c. Sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan/atau pelaksanaan program pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. d. Melaporkan kepada instansi pemerintah yang berwenang dan/atau melakukan tindakan yang diperlukan atas terjadinya penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak rasional dan/atau memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. e. Keikutsertaan dalam penyebarluasan informasi kepada masyarakat berkenaan dengan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tepat serta memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Pasal 52 Peran serta masyarakat dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, atau badan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pasal 53 (1) Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat, Menteri menyebarluaskan informasi dan pengertian berkenaan dengan peran serta masyarakat dalam pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri BAB XII PEMBINAAN Pasal 54 Menteri melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 55 (1) Pembinaan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diarahkan untuk: a. Memenuhi kebutuhan masyarakat akan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. b. Melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak tepat dan/atau tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. c. Menjamin terpenuhinya atau terpeliharanya persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dalam bidang : a. Informasi b. Produksi c. Peredaran d. Sumber daya manusia e. Pelayanan kesehatan. Pasal 56 (1) Pembinaan dalam bidang informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a dilakukan dengan : a. Penyebarluasan informasi kepada masyarakat berkenaan dengan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan. b. Melindungi masyarakat dari iklan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak obyektif, tidak lengkap dan menyesatkan. (2) Untuk melindungi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b Menteri menetapkan pedoman materi muatan iklan sediaan farmasi dan alat kesehatan (3) Penetapan pedoman materi muatan iklan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan pertimbangan Menteri yang bertanggung jawab di bidang penerangan. Pasal 57 Pembinaan dalam bidang produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf b dilakukan dengan : a. Meningkatkan kemampuan teknik dan penerapan cara produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang baik. b. Meningkatkan penggunaan potensi nasional yang tersedia sebesar-besarnya dalam produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan. c. Melaksanakan penelitian dan pengembangan produksi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dalam rangka perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan. Pasal 58 Pembinaan dalam bidang peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf c dilakukan dengan : a. Menjaga terpenuhinya persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan. b. Mengembangkan jaringan peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang merata. Pasal 59 Pembinaan dalam bidang sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d dilakukan dengan : a. Meningkatkan keterampilan teknis tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan. b. Membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan/atau lembaga pelatihan dibidang sediaan farmasi dan alat kesehatan. c. Menyediakan tenaga penyuluh atau ahli di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 60 Pembinaan dalam bidang pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf e dilakukan dengan : a. Meningkatkan penggunaan sediaan farmasi yang berupa obat generik dalam pelayanan kesehatan. b. Meningkatkan pemanfaatan sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sebagai upaya kesehatan mandiri. c. Menjamin tersedianya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi pelayanan mutu, keamanan dan kemanfaatan dalam rangka pelayanan kesehatan. Pasal 61 (1) Dalam rangka pembinaan, Menteri melakukan upaya peningkatan penggunaan sediaan farmasi yang berupa obat generik dalam pelayanan kesehatan (2) Upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan : a. Pemberian informasi kepada masyarakat berkenaan dengan manfaat penggunaan sediaan farmasi yang berupa obat generik dalam pelayanan kesehatan. b. Menumbuhkembangkan penggunaan sediaan farmasi yang berupa obat generik oleh tenaga kesehatan dalam pemberian pelayanan kesehatan untuk melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan sediaan farmasi yang berupa obat yang tidak tepat. c. Menjamin ketersediaan sediaan farmasi yang berupa obat generik pada sarana kesehatan dalam rangka pelayanan kesehatan. (3) Dalam rangka pelayanan kesehatan, penggantian penyerahan sediaan farmasi yang berupa obat berdasarkan resep dokter dengan padanannya berupa obat generik, dapat dilakukan dengan persetujuan dokter yang mengeluarkan resep dan dilaksanakan dengan memperhatikan kemampuan ekonomi penerima pelayanan kesehatan. (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri. Pasal 62 Dalam rangka pembinaan, Menteri dapat melakukan kerjasama Internasional di bidang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan kepentingan nasional. Pasal 63 Dalam rangka pembinaan, Menteri dapat memberikan penghargaan kepada orang atau Badan yang telah berjasa dalam membantu pelaksanaan pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. BAB XIII PENGAWASAN Bagian Pertama Tanggung Jawab Pengawasan Pasal 64 Pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan oleh Menteri. Pasal 65 Menteri dalam melaksanakan pengawasan, mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan pemeriksaan di bidang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Pasal 66 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, tenaga pengawas melakukan fungsi : a. Memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan dan perdagangan sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk memeriksa, meneliti dan mengambil contoh dan segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan dan perdagangan sediaan farmasi dan alat kesehatan. b. Membuka dan meneliti kemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan c. Memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan dan perdagangan sediaan farmasi dan alat kesehatan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut. d. Memerintahkan untuk memperhatikan izin usaha atau dokumen lain. Pasal 67 Tenaga pengawas dalam melakukan tugas dan fungsinya dilengkapi dengan : a. Tanda pengenal b. Surat perintah pemeriksaan Pasal 68 (1) Tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a terdiri dari : a. Nama tenaga pengawas yang bersangkutan yang dikenakan pada seragam b. Surat keterangan yang menyatakan data diri pengawas yang bersangkutan (2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilengkapi dengan foto diri tenaga pengawas yang bersangkutan serta ditandatangani oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Menteri. Pasal 69 (1) Surat perintah pemeriksaan dalam Pasal 67 huruf b sekurang-kurangnya berisi : a. Nama tenaga pengawas yang akan melakukan pemeriksaan. b. Nama dan alamat tempat kegiatan yang akan dilakukan pemeriksaan. c. Alasan dilakukan pemeriksaan. d. Hal yang akan diperiksa atau kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh tenaga pengawas. e. Tanggal, bulan dan tahun pelaksanaan pemeriksaan f. Keterangan lain yang di anggap perlu. (2) Surat perintah pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Menteri. Pasal 70 Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan. Pasal 71 Apabila hasil pemeriksaan oleh tenaga pengawas menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran hukum di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan segera dilakukan penyedikan oleh penyidik yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedua Tindakan Administratif Pasal 72 (1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap sarana kesehatan dan tenaga kesehatan yang melanggar hukum di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan. (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa : a. Peringatan secara tertulis. b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk menarik produk sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. c. Perintah pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. d. Pencabutan sementara atau pencabutan tetap izin usaha industri, izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan serta izin lain yang diberikan. (3) Tindakan administrasi berupa pencabutan sementara atau pencabutan tetap izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan oleh Menteri atau Menteri lain yang berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan administratif sebagai mana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh Menteri dan/atau Menteri lain baik secara bersama-sama atau sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing Pasal 73 (1) Jika pelanggaran hukum dilakukan oleh tenaga kesehatan, tindakan administratif dikenakan oleh Menteri berupa : a. Teguran b. Pencabutan izin untuk melakukan upaya kesehatan. (2) Pengambilan tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 74 Barangsiapa dengan sengaja memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan dalam dalam Pasal 80 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Pasal 75 Barangsiapa dengan sengaja : a. Memproduksi dan/atau mengedarkan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) butir d b. Mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 76 Barangsiapa dengan sengaja : a. Memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf b; b. Memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) huruf c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 77 Barangsiapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak mencantumkan penandaan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pasal 78 Berdasarkan ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77, ditambah seperempat apabila menimbulkan luka berat atau sepertiga apabila menimbulkan kematian. Pasal 79 Berdasarkan ketentuan pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, barangsiapa dengan sengaja : a. Memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa menerapkan cara produksi yang baik sebaimana dimaksud dalam pasal 5; b. Melakukan pengangkutan sediaan farmsi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran tanpa disertai dengan dokumen pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); c. Memasukan sediaan farmasi ke dalam wilayah Indonesia tanpa dilengkapi dengan dokumen yang menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bersangkutan telah lulus dalam pengujian laboratoris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1); d. Mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang mengalami kerusakan kemasan yang langsung bersentuhan dengan produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1); e. Mengiklankan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang penyerahannya dilakukan berdasarkan resep dokter pada media cetak selain yang ditentukan dalam pasal 32; dipidana dengan denda sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). BAB XV KETENTUAN LAIN Pasal 80 Upaya pengamanan sediaan farmasi yang berupa obat keras, sepanjang belum diatur dalam peraturan pelaksanaan Ordonansi Obat Keras, dilakukan berdasarkan pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 81 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 82 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka : 1. Pharmaceutissche Stoffen Keurings Verordening (Staatsblad Tahun 1938 Nomor 172); 2. Verpakkings Verordening Pharmaceutissche Stoffen Nomor 1 (Staatsblad Tahun 1938 nomor 173); 3. Verpakkings Verordening Kinine (Staatsblad Tahun 1939 nomor 210); dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 83 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 September 1998 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 16 September 1998 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd AKBAR TANJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1988 NOMOR 138 Salinan sesuai dengan aslinya Sekretariat Kabinet RI Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan Lamboek. V. Nahattands

Comments

Popular posts from this blog

BAHASA LATIN DALAM ILMU FARMASI DAN KEDOKTERAN

Sebelum menuliskan resep bagi dokter dan sebelum meracik obat bagi apoteker sangatlah perlu mempelajari bahasa latin. Bahasa latin adalah bahasa universal dan merupakan bahasa para ahli kesehatan. Alasan penggunaan bahasa latin dalam resep : 1. Bahasa latin merupakan bahasa internasional dalam ilmu medis (kedokteran dan farmasi) 2. Bahasa latin merupakan bahasa yang mati, artinya tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari sehingga tidak berkembang dengan pembentukan kosa kata baru 3. Dengan menggunakan bahasa latin tidak akan terjadi dualisme pengertian bahan/zat yang dimaksud dalam resep 4. Menjaga kerahasiaan dalam hal tertentu karena faktor psikologis pada penderita yang sebaiknya tidak perlu mengetahui bahan obat apa yang diberikan kepadanya   Berikut ini Daftar Singkatan Latin dan terjemahnnya yang umumnya ada dalam resep obat: A a, aa = tiap-tiap accur. = seksama add. = tambahkan ad. us. ext. (ad usum externum) = dalam pemakaian luar ad

Pelayanan Resep Narkotika Dan Psikotropika

Salah satu pelayanan resep yang membutuhkan perhatian khusus yaitu resep narkotika dan psikotropika. Syarat dan penanganan resep narkotika yaitu : 1. Resep harus diskrining terlebih dahulu a. Harus resep asli (bukan copy resep) b. Ada nama penderita dan alamat lengkapnya yang jelas c. Tidak boleh ada tulisan „iter. yang artinya dapat diulang d. Aturan pakai yang jelas dan tidak boleh ada tulisan u.c (usus cognitus) yang artinya cara pakai diketahui 2. Obat narkotika di dalam resep diberi garis bawah tinta merah 3. Resep yang mengandung narkotika tidak boleh diulang, tetapi harus dibuat resep baru 4. Resep yang mengandung narkotika harus disimpan terpisah dari resep yang lain 5. Jika pasien hanya meminta ½ obat narkotika yang diresepkan, maka diperbolehkan untuk dibuatkan copy resep bagi pasien tersebut, tetapi copy resep tersebut hanya dapat ditebus kembali di apotek tersebut yang menyimpan resep aslinya, tidak bisa di apotek lain. 6. Jika pasien sedang berada di luar kota, maka cop

Pembuatan Resep Serbuk (Pulvis/Pulveres)

Serbuk adalah campuran homogen dua atau lebih obat yang diserbukkan. Serbuk diracik dengan cara mencampur bahan obat satu per satu, sedikit demi sedikit dan dimulai dari bahan obat yang jumlahnya sedikit, kemudian diayak, biasanya menggunakan pengayak nomor 60 dan dicampur lagi. Jika serbuk mengandung lemak, harus diayak dengan pengayak nomor 44. Jika jumlah obat kurang dari 50 mg atau jumlah tersebut tidak dapat ditimbang, harus dilakukan pengenceran menggunakan zat tambahan yang cocok. Serbuk berdasarkan cara pemberiannya dibedakan menjadi 2, yaitu : 1. Pulvis / serbuk tak terbagi adalah serbuk yang tidak dibagi dan bebas dari butiran kasar serta biasanya dimaksudkan untuk obat luar. Penimbangan Bahan : Diazepam = 2 mg × 10 = 20 mg Dexamethason 0,5 mg = ¼ × 10 = 2.5 tablet SL/Laktosum = 100 mg x 10 = 1000 mg = 1 g Perhitungan DM untuk 9 tahun : 1. Diazepam (DM -/40 mg) 1 hari = 9/20 × 40 mg = 18 mg % DM 1 hari = (2 mg x 2)/18 mg x 100% = 22.2% Pengenceran Diazepam : Ambil : Di